Ini pukul tujuh lebih dua puluh menit pagi saat Gaby mendapati wajah — (kalau boleh jujur) tampan — Luca Navarez di layar interkomnya. Sudah dering bel pintu ke lima pun Gaby masih enggan untuk membuka pintu dan mengizinkan Luca untuk masuk. Dirinya justru menyibukkan diri bermain bersama simba diatas sofa putih panjang halus miliknya.
ting
7.22 am: Lavelle, you’re home?
ting
7.22 am: I keep ringing the bell but there’s no one here.
ting
7.23 am: missed voice call at 7.23 AM
Gaby yang sudah jelas melihat notifikasi dari Iphone-nya, memilih untuk mengabaikan itu semua, bahkan disaat Luca terdengar mulai mengetuk-ngetuk pintunya dengan setengah kekuatan. Kehadiran Luca masih mengganggu dirinya.
Saat Luca menawarkan diri untuk menjadi tangan kirinya, Ia kira itu hanyalah tawaran sambil lalu hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki itu bersungguh-sungguh merasa bersalah dan ingin meminta maaf. Namun, hingga hari ini, terhitung genap dua puluh hari dan laki-laki itu dengan sangat rajin datang ke penthouse Gaby sekitar jam tujuh sampai setengah delapan pagi hari. Laki-laki itu lalu akan melakukan banyak pekerjaan rumah yang tidak dapat Gaby lakukan. Ia bahkan menyihir dapur Gaby seakan dapur restoran ternama dunia dengan hidangan-hidangan lezat buatan chef berkelas. Luca tanggap melakukan banyak hal. Luca hebat dalam melakukan banyak hal.
Koki, supir, pembersih jendela, penjaga binatang peliharaan, meja peralatan lukis Gaby, mencuci piring, pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari, memperbaiki lampu yang mati, mengganti humifider ruangan dan banyak sekali hal lainnya yang Luca lakukan sebagai tangan kiri Gaby, dan ia lakukan tanpa sekalipun mengeluh. Justru laki-laki itu selalu mengenakan senyum lebar termanisnya.
Jujur, Gaby heran, apa yang sedang diperbuat seorang anak pertama keluarga ternama se-Asia Tenggara itu di penthouse miliknya.
Beberapa menit berlalu, sudah tidak lagi terdengar suara bell maupun ketukan pintu. Pasti ia lelah dan pergi, batin Gaby. Beberapa detik setelahnya, bukan dering bel maupun ketukan pintu, Gaby justru mendengar dua suara geram laki-laki yang terdengar cukup keras di depan pintunya. Buru-buru dirinya melihat layar interkom yang menampilkan Luca dan Geo sedang terlibat dalam adu pandang mata sengit dan beberapa kalimat ricuh mulut.
“What are you two fighting for in front of my house?!” tanya Gaby panik sesaat setelah dirinya membuka pintu. Dua pasang mata lainnya mendapati mata Gaby bebarengan.
Geo lantas mengambil satu langkah maju mendekati Gaby sedangkan Luca mengalihkan pandangnya lalu membuang nafas berat.
“I’m here to see you,” jawab Geo dengan rekah senyum. “But this guy right here keeps stopping me from ringing the bell. Guess he doesn’t like the idea that I’m here for you,” sindir Geo pada Luca yang berdiri berjarak dibelakangnya dengan tampang kesal.
Gaby mengerutkan dahinya bingung, lalu melempar pandang pada Luca. Luca balas memandang namun enggan bersuara.
“Kamu ngapain kesini?”
Geo mengangkat tangan kanannya ke udara, memperlihatkan paperbag berwarna putih, “I bring you tacos for our breakfast.”
Gaby menghelas nafas sekaligus. Baru saja ia akan menimpali Geo namun suara Luca mendahului dirinya, “I cook for her breakfast every day.” Saat ini Luca mengambil dua langkah kecil lebih dekat pada Gaby dengan tatapan tajam kearah Geo, “And tacos is not in her today breakfast menu.”
“Sorry?” Geo masih belum paham.
“Won’t say it for the second time,” jawab Luca tegas.
“Udah,” lerai Gaby saat dirasa tatapan kedua laki-laki yang sedang bersamanya itu makin memanas tak karuan. “Udah, sekarang kamu masuk aja.”
Kata “kamu” yang berarti ditujukan untuk Geo, tersampaikan dengan sangat jelas bagi dua laki-laki itu, pasalnya Geo dengan bahagia melangkahkan kakinya masuk sedang Luca masih berdiri pada posisinya. Gaby masih menggunakan “Lo-Gue” untuk berkomunikasi dengannya hingga detik ini.
“Lo gak jadi masuk?”
“Kalo dia yang dateng baru dibukain sedangkan gue lo cuekin?” protes Luca pada Gaby, ia terdengar seperti sedang dirudung cemburu.
Gaby menghela nafasnya kasar, malas menanggapi. “Lo masih niat jadi tangan kiri gue gak?” tanya Gaby.
“Lo cuma suruh dia yang masuk, bukan Gue.”
“Gue tadi udah suruh masuk aja, kan?”
“Kamu.”
“Ha?”
“Gak jadi,” keluh Luca saat Gaby tak paham arti rajuknya barusan. “Gue boleh masuk?”
Gaby memutar bola matanya sebal sembari melangkah sedikit kesamping untuk memberi ruang Luca berjalan masuk.
“Thanks,” ucap Luca manis saat menunggu Gaby menutup pintu lalu keduanya berjalan hampir bersamaan segera menuju ruang makan.
Kurang lebih 23 hari berlalu, semenjak hari pertama kerja-nya di kediaman Gaby. Genap 20 hari juga dia sudah menjadi juru masak di dapur Gaby. Biasanya, dari dapur, selagi memasak, Luca akan dipertontonkan pemandangan bangunan-bangunan tinggi dan bagusnya New York dari lantai 17.
Selain itu, ada pula adegan dimana Gaby akan bermain-main dan bermonolog bersama simba di karpet putih ruang TV, kadang juga, sebelum memasak Luca akan membantu Gaby memindahkan canvas berukuran 60 x 80 sentimeter berserta alat lukisnya ke ruang TV. Lalu, Gaby yang sedang larut dalam imajinasi lukisnya akan menjadi tontonan menyenangkan bagi Luca sembari memasak. Tapi, selama ini, Luca belum pernah melihat bagaimana indah dan anggunnya Gaby bila sudah menjadi satu dengan harpanya. Bukan masalah besar, dia akan lebih sering mendengarnya di hari depan.
Namun, kali ini, saat Luca (menyibukkan) diri mempersiapkan menu sarapan bagi Gaby. Pemandangan yang dilihatnya saat ini entah bagaimana membuatnya iritasi. Itu sangat menganggunya.
Memang selama 23 hari terakhir, Gaby tidak pernah memulai obrolan bersamanya terlebih dahulu. Gaby lebih banyak diam dengan dunianya dan Luca yang aktif menemani Gaby sibuk dengan dunianya. Tapi, melihat bagaimana Gaby bersikap acuh tak acuh padanya saat ini membuat aliran darah dalam nadinya terasa panas.
Luca mungkin belum banyak mengenal tentang Gaby, namun ia yakin bahwa, bahkan, kehadiran Geo pun bukanlah hal yang disukai oleh perempuan dengan mata coklat natural itu. Namun, gelagat Gaby sama sekali tidak menunjukkan adanya penolakkan atas kehadiran Geo Kazuhiro, keduanya justru saling bersenda gurau dan membicarakan banyak hal yang Luca tidak paham arahnya kemana. Keduanya bercanda seakan wujud Luca tidak nampak.
Jujur, Luca bingung atas sikap Gaby. Bagaimana mungkin perempuan itu tidak begitu menyukai Geo namun bersikap sangat manis dan friendly. Sedangkan, akan berubah menjadi judes, dingin dan penuh omelan bila berhadapan dengan Luca. Bukankah, perempuan itu yang pertama mencium bibirnya malam itu? Bukankah itu bentuk ketertarikan?
Luca berusaha membuang segala pikiran kalutnya dan melanjutkan memasak. Dari ujung pendengarannya, Luca dengan jelas mendengar Geo meminta Gaby untuk menyantap makanan yang dibawanya pagi ini — tacos — namun Gaby menolak.
“Eh, kenapa? Bukannya kamu suka tacos?”
Gaby mengangguk dan tersenyum singkat.
“Terus?
Lirikan mata elang Luca tepat mengenai target, dilihatnya barang sedetik, lalu ia menyeringai.
“She hate shrimp.” Suara sepiring carbonara pasta yang Luca bawa mengenai meja kaca memecah keheningan, sesaat ia sampai dihadapan Geo dan Gaby diruang TV.
Geo dan Gaby spontan mendongak mendengarnya. Memang benar, ada beberapa potongan kecil udang matang didalam tacos yang Geo bawa saat ini. Gaby sengaja menghindarinya karena ia benci udang.
“How did you know?” timpal Geo sinis.
“I just know it,” kata Luca sembari menaikkan bahunya bangga. “Lo kenapa diem aja dan gak bilang ke dia?” Kali ini pertanyaan dilontarkan pada Gaby.
Gaby yakin pernah beberapa kali menolak memakan udang saat bersama Geo. Namun, mungkin Geo tidak ingat. Gaby masih diam memandang Luca dengan tatapan sulit diartikan. Tak ada jawaban. Keduanya justru saling melempar pandang. Bingung.
Baru saja Luca berniat untuk menjauh, pasrah karena tak kunjung diberi respon. Namun, pergerakannya ditahan oleh Gaby yang sedang mencubit ujung hoodie hitam yang ia kenakan.
“Bentar,” ucap Gaby pada Geo, kemudian langsung menarik ujung hoodie hitam Luca. Keduanya lantas meninggalkan Geo kebingungan di ruang TV. Tanpa tahu apa yang perempuan itu inginkan darinya, yang jelas dirinya memilih untuk tersenyum lebar penuh kemenangan menatap Geo yang kebingungan — sekaligus terkalahkan.
“Lo ngapain sih?”
Itu adalah kalimat pertama yang Gaby tanyakan pada Luca setelah menutup pintu studio lukis pribadinya.
“Me? What did I do?” jawab Luca dengan pertanyaan boomerang.
Gaby melepaskan cubitannya dari hoodie hitam Luca dengan kasar. “Lo tau dari mana gue alergi udang?”
Pertanyaan Gaby mengundang kerutan pada dahi Luca. “You’re not allergic to shrimp,” jeda Luca. “You just don’t like it since you were a kid.”
0–1. Nol untuk Gaby dan satu poin bagi Luca. Itu adalah pertanyaan jebakan, namun Luca melewatinya dengan sangat mulus dan mudah. Gaby cukup kaget atas jawabannya. Dia inget, batin Gaby.
Gaby masih terdiam malas menimpali sampai Luca terlebih dahulu memulai ulang obrolan keduanya. “Kalo gak suka banget makan udang kenapa gak nolak langsung tadi?”
“Geo gak tau,” jawab Gaby singkat.
Luca lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Dia gak tahu? Bukannya kalian udah tahunan saling kenal? Kok bisa dia?”
Gaby mendengus pelan. “Dia gak pernah tanya.”
“Cowo mana yang naksir tapi gak pernah tanya hal sesimpel itu?”
“Hah?” Gaby menjeda. “So, you just said that you have a crush on me, gitu?”
“What?”
“Kan lo suka tanya banyak hal sepele ke gue.” Tuntas Gaby dengan sekali tarikan nafas. Kalimatnya menutup rapat mulut Luca.
1–1. Satu sama. Poin seri. Luca secara bodoh mengungkapkan dirinya. Namun dengan kesadaran tersisa berusaha untuk membela diri.
“Oh, well, now you know how to get me, Miss Lavelle. But, I never say I have a crush on you, though.” Luca mendekatkan wajahnya perlahan. “Or do you wish that I have a crush on you? Is that what you want?”
Lidah Gaby kelu. Laki-laki dihadapannya saat ini menyimpan banyak dosa. Harusnya dia sudah masuk penjara di usia mudanya.
“Terserah deh lo mau ngebual apa aja, yang jelas gak usah sok tahu depan Geo, sengaja banget kan lo bikin dia badmood?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Cause you make me jealous, Lavelle.” Finish Luca dengan begitu saja setelah mengecup kecil ujung hidung Gaby.
Tentu saja tindakannya barusan mengundang amarah Gaby yang saat ini wajahnya terlihat seperti daging segar, alias berwarna merah. “WHAT THE FUCK?” Ingin hati menampar namun justru kaki kanan Gaby yang terlebih dahulu bereaksi dan menendang lutut Luca.
“Hehe.”