Sudah lama rasanya tidak menghirup udara segar kota New York, selain dari jendela kaca besar apartementnya. Hari ini, menandai 53 hari semenjak terakhir dirinya keluar dari hunian mewahnya itu. Sekembalinya dari Indonesia, Gaby disibukkan dengan meeting untuk segala persiapan pameran karya lukisnya. Ia turut andil dalam berbagai hal dalam pameran pertama dalam dua tahun terakhir.
Sebagai sang pelukis tentunya dirinya sibuk melukis dan juga mencari ide melukis. Nantinya, akan ada 45 karya lukis guratan tangan Gaby Lavelle yang akan dipamerkan dan siap diperjualbelikan.
Dua tahun yang lalu, McKenzie Fine Art Inc dan Gaby berhasil menjual sebanyak 32 lukisan dengan total laba bersih pendapatan kurang lebih 593.949,60 US Dolar atau setara 9 milliar rupiah Indonesia. Guratan indah diatas kanvas oleh tangan Gaby memang layak dan sudah diakui oleh banyak kurator, ahli seni dan kolektor karya diseluruh dunia.
Gaby mungkin bisa menjadi salah satu pelukis terkaya pada generasi ini berdasarkan keuntungan besar yang selalu berhasil ia dapatkan. Bisa juga berpotensi menjadi selebritis terkenal untuk saat ini, sayangnya karena kemampuan bersosialisasi Gaby yang kurang serta sifatnya yang cukup tertutup membuat banyak agensi besar dan stasiun TV ternama gagal memenangkan hati Gaby untuk muncul di beberapa program terkenal.
Sesekali, kalau bujukan Ruby dan Ziggy, juga kadang Mama berhasil, ia akan secara sukarela diwawancarai untuk majalah-majalah ternama.
Kali ini, kalau bukan karena rasa bersalah pada Ilsa Manami — teman Mama sekaligus wanita berjasa yang sudah membuatnya berada pada posisinya saat ini — dan choco rugelach milik Breads Bakery, hari ini akan menjadi hari ke-54 ia mengisolasi diri di hunian mewah kelas atas didaerah Manhattan.
Sudah 10 menit berlalu semenjak Geo Kazuhiro meninggalkannya di toko buku dengan alasan telfon penting yang harus ia angkat. Entah pergi kemana sekarang laki-laki itu. Mungkin di kedai kopi beberapa blok dari toko buku atau mungkin bisa saja di bangku panjang seberang jalan. Gaby kurang perduli.
Sudah 15 menit berlalu juga Gaby masih sibuk mondar-mandir dari bilik buku satu ke bilik buku dua, tiga, empat, lima, enam lalu kembali lagi ke bilik buku satu, ditemani alunan musik klasik The Puritan oleh Vincenzo Bellini yang terdengar dari airpods miliknya. Setelah mencari-cari nyatanya buku yang dicarinya tersusun rapi pada rak buku yang berada diatas. Kamu butuh tangga kayu kecil yang biasa kalian lihat di toko buku untuk meraihnya.
Tanpa pikir panjang, Gaby lantas menaiki tangga kayu itu. Tidak langung turun, ia masih bergelut diatas tangga kayu sembari melihat buku-buku lain dirak atas.
Gaby pikir, ia akan segera kembali melanjutkan lukisannya yang terakhir sepulang makan malam bersama Geo. Ia sudah mendambakan hari esok ia sudah bisa sedikit bersantai karena lukisannya sudah sampai pada tahap akhir penyelesaian. What a day, batinnya.
Semua itu akan — mungkin saja terjadi kalau Gaby tidak kaget dan tergelincir dari tangga kayu, saat seseorang, entah siapa, mencolek siku tangan kanannya.
“Arghhh!!!!!”
Bruk
“Aw, shit!”
Gaby yang tergelincir begitu saja jatuh menimpa seseorang, keduanya jatuh hampir bersamaan. Namun, hanya suara teriakan Gaby yang terdengar paling keras memenuhi seisi toko buku.
Beberapa staf toko buku dan pengunjung pun segera berlari ke arah suara dan berusaha membantu keduanya untuk bangkit. Gaby dan orang itu berdiri dengan tegak dan normal, hanya merintih kecil akibat sensasi sakit dan shock yang dirasa.
“Aw aw…” Rintih Gaby memegangi tumit dan tangan kirinya. “Jesus, this is hurt so bad. What’s wrong with my wrist and forearm?”
“I’m sorry, my bad miss, are you okay?” Tanya orang itu, yang ternyata adalah seorang laki-laki. Gaby masih meringis tanpa menatap laki-laki di depannya.
Dalam rasa sakitnya itu, Gaby mendengar laki-laki itu sedang meyakinkan para pengujung dan staf toko buku yang mengerubungi mereka, bahwa keduanya baik-baik saja. Beberapa saat kemudian kerumunan itu sudah menjauh dari keduanya.
“Sorry, sorry. I apologize. Did I hurt your hand?” Ada khawatir dan rasa bersalah dalam suara laki-laki itu.
Gaby belum mengangkat kepalanya masih meringis kesakitan. “I don’t know, but I can not feel my left hand.”
“Let me take you to the hospital, I’ll take responsibility for my mistake,” kata laki-laki itu.
Gaby diam tak menjawab sampai ia mendengar suara Geo menghampirinya, “Gaby! What happen? What happen to your hand?”
Gaby pun mendongakkan kepalanya menatap Geo dengan wajah merintih ia menjawab, “I think I break my hand, Geo.”
“What? How come?” Geo yang panik pun baru menyadari keberadaan orang lain didekatnya. Untuk sesaat ia sedikit memicingkan matanya saat mata mereka bertemu, hingga akhirnya ia menyadari sesuatu. “Luca??”
Gaby kembali mendongakkan kepalanya dengan cepat saat mendengar nama yang Geo sebut, ia ikut memperhatikan bentuk muka laki-laki itu. Lalu memicingkan matanya kaget.
Luca? Isn’t he the same guy that I kissed that night? So this is Luca that Ziggy told me about? Fuck.
“Luca, kan?” Geo kembali memastikan.
Laki-laki itu mengangguk perlahan. “How did you know me?”
Geo tersenyum tipis. “Who doesn’t?”
Kepala Gaby masih terus memutar banyak pertanyaan namun ia tak sanggup berpikir. Ia benar-benar khawatir jika lengan kirinya patah saat ini, ia sungguh akan terpuruk kalau itu memang terjadi mengingat tenggat waktu lukisan terakhirnya adalah minggu depan. Setiap karyanya masih harus melalui proses seleksi dan kurasi sebelum dipajang di galeri seni.
“Guys, please can you skip this part and please take me to the hospital cause I really think my arms are broken,” pinta Gaby dengan beberapa bulir air mata yang jatuh dipipi.
Luca dengan sigap melingkarkan tangan kanannya pada bahu Gaby untuk segera dibawa pergi. “Let me do it, gue yang bakal tanggung jawab.”
“Tanggung jawab? What do you mean?” Geo masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi.
“Later, I will tell you later,” sahut Luca cepat.
“Wait.” Geo menghentikkan langkah keduanya. “I can take her to the hospital as well.”
Luca menghembuskan nafas kasar. “I’ll take care of her.”
“No. I was with her before you came, dude.” Geo membantah.
“I said…” Luca memberi jeda dengan tatapan tajamnya. “I will take care of her. Which part you don’t understand?”
Kedua alis Geo sedikit bergetar tanpa sebab. Ia mengeraskan tulang tenggorokannya untuk menahan suaranya.
Ini bukan waktunya untuk berdebat batin Gaby, ia pun sedikit berteriak untuk melerai ribut tidak berdasar keduanya. “Guys! Please… stop. I feel so hurt right now!”
Luca menaikkan satu alisnya sebelum mengambil langkah maju hingga, “I’ll go with her to anywhere you take her.” Final Geo dingin, lalu mengambil langkah lebar berdiri mencegah Luca.
“Sure,” timpal Luca tidak kalah dingin.