Luca’s POV
Okay, so here it goes. I currently am in Los Angeles while my girlfriend, Lavelle is in New York. We’re a ‘a week new couple’. Gue merasa sangat bersyukur (ini yang paling pertama dan utama) dan bahagia dia terima ‘tembakan’ gue yang pake filosofi itu (if you know you know) buat nerima gue jadi pacarnya.
To be clear, I was the one who asked her to LET ME to be her boyfriend, I asked for her consent to be her boyfriend. I did not ask her to be my girlfriend, because how dare I ask an ANGEL to be my girlfriend? I’ll walk in misery at the bottom of hell. It is an unforgiven crime.
Kalo waktu itu Lavelle masih bersikukuh buat setting boundaries (and denial about her feeling, I knew that, Lavelle baby *smirk*) with me, dan nolak mentah-mentah ‘tembakan’ gue, sekarang gue pasti bukannya lagi sweetly, lovingly, clinging to her in a facetime audio but cry my heart out and then throw my body rolling in the grass in my secret garden. #whatapoorman
“Hai…”
That is an angelic voice that I just heard through my phone. Suara malaikat itu menyapa gue pertama kali sesaat setelah komunikasi suara terhubung. Satu kata “hai” dengan intonasi bahagia dan gemas karena huruf “i”-nya kedengeran sedikit lebih panjang diakhir. Damn, God bless me. An angel speaking to me on a Christmas night. Amen.
Gue senyum lebar sebelum balik nyapa pacar gue itu. “Hai! You sounds so happy, Lavelle. Kenapa tuh?”
Bisa gue denger suara ketawa kecil samar diujung sana. “Lagi dimana?” YAP! Gaby Lavelle still Gaby Lavelle yang hobi banget gak ngejawab pertanyaan gue, it’s okay, it’s her charming point. Angels are flawless.
“Lagi di rooftop, ada after party.”
“Kenapa malah di rooftop?”
“Aku mau ngobrol sama kamu.”
Pacar gue mendesis singkat. “Kenapa jago banget kalo asbun? Berapa banyak cewe yang udah denger asbun kamu sih, Luc?”
“One.” Jawab gue yakin.
Pacar gue mendesis kedua kali. “No wonder you got that ‘Nation’s Heart Stealer’ title, kata Zee kamu sama 3 temenmu yang lain sama semua.”
Gue memasukkan satu tangan gue kedalam kantong celana, diatas sini dingin banget, tapi gue ngerasa mending disini denger suara pacar gue daripada harus ramean di dalem, gue cekikikan sebelum jawab, “So you’re agree that I am a Heart Stealer, Miss Lavelle?”
“I didn’t say that.”
“But we’re dating now, kalo aku gak curi hati kamu apa dong namanya?” Gue menaikkan satu alis gue, itu udah habit gue.
“Ish!!” Pacar gue itu mulai sebel. “Kamu tuh jago banget ya image building dan self-branding? Perasaan semua orang bilang kamu tuh pendiem, cuek, dingin dan ga jago basa-basi, itu boong semua?”
Oh, jadi itu image gue dimata dia selama ini, batin gue. “You got a special treatment, Lavelle.”
Well oh well, only she knows how he never shuts up. He was different from anything that she had ever known and it drove her crazy.
“Kok diem? Gue nunggu jawaban, tapi gak dapet. “What you do?”
“Lagi main sama kitty simba, diatas sofa bed.”
“Suka gak?”
“Suk — ”
“Aku?”
“Hm?”
“Suka aku gak?” tanya gue.
“LUCA! AKU MATIIN YA!”
Damn, ternyata malaikat yang ini lumayan galak.
Obrolan gue sama pacar gue terus berlanjut sampe tanpa sadar udah hampir 30 menit berjalan. Gue ngerasa, cuma ini cara gue buat nemenin pacar gue di natal pertama kita bareng, gue ngerasa kurang ajar udah biarin dia sendirian dirumah padahal lagi malam natal. Tapi, gue juga gak bisa asal batalin undangan Violetta. Besok juga gue masih ada acara begitu juga Lavelle. Kita kemungkinan baru bisa ketemu 2 hari sebelum tahun baru.
“Nanti jadi kumpul-kumpul?”
“Jadi, eh- bentar.” Kayanya dia lagi bales chat, gue bisa denger suara tuk-tuk-tuk layar apa dia. “Bales chat mama sama Ruby, ditanyain besok gimana.”
Gue angguk-angguk sambil senyum tipis tapi salting. Ternyata gini suara lembut dia kalo udah jadi pacar, beberapa bulan terakhir gua lebih banyak denger suara jutek dia. “Dimana emang?”
“New Jersey, rumah adik papa.”
“Dijemput Ruby?”
“Jujur, masih belum tahu. How about you? What you gonna do today?”
“Mama bikin acara keluarga di Las Vegas, jadi kayanya kelar telfon kamu aku mau balik ke hotel karena kata Yaya jam 8 pagi otw ke Las Vegas.”
“Ouh,” dia diem sebentar. “Oh ya, kupon kamu, itu beneran hadiah dari aku.”
Gue tertawa gemas. “Cuma dapet satu kupon?”
“Emang mau berapa? Itu aja udah “anything you want”, Luca… “
“Sshh, simba jangan gigit kaki kitty!!”
“Ih, tuhkan kitty marah — eh eh, astaga… Luca bentar.” Kata dia sempetin ngasih tahu gue ditengah riwehnya sama simba kitty yang kayanya lagi ribut disana.
“Sure, baby.” Jawab gue.
Setelah setengah menit gue denger dia nyeramahin simba kitty, dia balik lagi nyapa gue, “Hallo, sampe mana ya tadi?”
“Bisa gak kuponnya unlimited?” Goda gue usil soalnya seneng denger pacar gue kalo sebel.
“Lu jangan rakus sih kata gue.” Gue ketawa kenceng, padahal gue kedinginan. She pulls the ‘lo-gue’ card.
“Lima deh kalo gitu.”
“Satu.”
“Lima, please…”
“Satu.”
“Kapan masa berlakunya, sayang?”
Dia beberapa detik gak ada suara. “Hallo?” Gue panggil karena masih gak ada suara diujung sana.
“Lavelle?”
“Semenjak aku kasih pokoknya.”
“Sekarang boleh dipake?”
“Boleh, tapi yaudah abis, kan cuma satu kupon.”
“Iya,” gue menjeda. “Anything I want, right?” Pacar gue berdeham. Iya.
Gue diem beberapa detik, pura-pura mikir permintaan gue, padahal gue udah tahu mau apa. “Jadi mau apa?” suara pacar gue nyapa indra pendengaran gue yang telinga udah gak bisa gue rasain soalnya kedinginan.
“I want it to be five Luca’s coupons.”
“Eh?”
“Katanya ‘anything’…”
Gue bisa denger pacar gue disana berdecak sebel, ketawa, mendesis bahkan dia mukul sofa habis denger permintaan gue. Hehe sorry, baby. I’m just outsmarted you.
“Oke. Wish granted.” Gue ketawa gemes merayakan kemenangan.
Pacar gue ini juga jadi lebih cerewet pas gue udah jadi pacarnya. Padahal image dia selama ini juga pendiem dan jutek. I guess we’re just meant to be, Lavelle. Gue sengaja nyebut dia “pacar gue” mulu karena emang dia pacar gue sekarang, no one can take her away from me. I won’t let anyone take her away anymore, I’ve been waiting for this moment for almost ten years.
“It’s 1 AM already, you should go to sleep, Lavelle.”
“I’m just about to say the same thing.”
“Alright, I will call you again later, let me know if anything happens.” Gue mulai berjalan masuk ke dalam gedung, karena beneran gak kuat hawa dingin kota Los Angeles. “Merry Christmas and sleep tight, my Queen.”
“Stop it, stop calling me that, Luca.”
“Okay, merry christmas and sleep tight, miss girlfriend.” Gue nunggu jawaban dia sambil degdegan.
“Good night, boyfriend.” Gue bisa denger pacar gue itu ketawa usil sebelum telfon kita dia matiin.