Laws of attraction

caraazell
8 min readMay 12, 2023

--

Kalau bisa dipertimbangkan kembali, meskipun sebenarnya tadi sebelum turun Gaby sudah melalui perdebatan batin, sepertinya bukanlah hal benar untuk keluar dari rumah di setengah sembilan malam, apalagi bersama Luca Navarez.

Entah mengapa saat kau mengetik, menulis, dan menyebutkan nama Luca rasanya tidak afdol bahkan terasa tidak benar bila tak diikuti oleh nama belakangnya — Navarez — nama salah satu keluarga terpandang yang berada pada ujung perekonomian di seluruh wilayah Asia Tenggara. Padahal Gaby ingat Ziggy menyebutkan bahwa nama laki-laki itu terdiri dari tiga suku kata.

Apa ya?

Oh!

Lazuardi Luca Navarez.

Namanya terdengar unik dan berwibawa, pikir Gaby yang baru saja ingat nama lengkap Luca saat dirinya baru saja sampai dipinggir jalan tepat didepan bangunan apartementnya, kepalanya menengok ke kanan kiri mencari keberadaan yang mengajaknya keluar.

“Lavelle!”

Pikiran acaknya langsung terhenti begitu saja saat suara berat laki-laki memasuki pendengarannya. Duh! Padahal suara aslinya itu rendah dan berat tapi mengapa gendang telinga Gaby mendeskripsikan gelombang suaranya terdengar, manis nan lembut, sih.

Kalau kebanyakan orang, berteriak memanggil agar kita mendatangi mereka. Kalau Luca, berteriak memanggil agar dirinya bisa menghipnotis Gaby untuk diam ditempat, dibuat tak sadar beberapa detik kemudian Luca sudah berdiri tepat dihadapannya. “I thought you won’t come down, Lavelle.”

Gaby mengerlingkan matanya, sadar dari hipnotis ala Luca. “Gue juga mikir gitu,” balas Gaby jutek.

But you’re here.”

I am.”

Luca terkekeh manis penuh kemenangan. Dua pasang mata Gaby yang berusaha menghindari bertemu dengan matanya terlihat menggemaskan bagi Luca, ditambah, perempuan itu mengenakan topi model beanie hitam, masker putih, black long coat dan highwaist denim jeans. Selain kedua matanya, perempuan itu benar-benar menghangatkan dirinya dari dinginnya kota New York yang rata-rata suhu hariannya berkisar tujuh derajat celcius sampai dengan dua puluh satu derajat celcius.

“Jadi pergi gak nih?” Gaby menendang pelan kaki Luca. “Jangan berdiri disini doang, lo gak tau ini dingin?”

“Bisa kan dicolek aja gitu guenya, gak perlu ditendang, hm?” protes Luca.

“Lebay lu.”

Setelahnya, Luca pun mempersilahkan Gaby untuk berjalan menuju mobil miliknya. Seperti yang sudah-sudah, laki-laki itu akan membukakan pintu bagi Gaby, membantu Gaby mengatur posisi kursi yang nyaman, lalu memastikan bahwa sabuk pengaman sudah terpasang dengan benar pada Gaby, sebelum ia menyalakan mesin lalu menginjak gas mengelilingi kota New York.

Alunan musik klasik italia yang dibawakan oleh Andrea Bocelli, Con Te Partiro, menjadi latar belakang musik pertama yang menemani perjalanan night drive Luca dan Gaby.

Tidak banyak yang mereka bicarakan dalam dua puluh menit pertama, tidak ada bahkan. Baik Luca maupun Gaby terlihat sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing sembari matanya menelusuri setiap sudut kota yang mereka lewati.

Hening diantara keduanya terdengar lebih keras dibanding musik-musik klasik lainnya yang berasal dari pemutar suara mobil. Mungkin kamu pernah dengar, atau tidak, kota New York menyimpan banyak cerita tersendiri disetiap sudutnya saat kamu berada disana pada malam hari. Hiruk pikuk pusat kota — Times Square — tidak akan menjadi penghalang rasa damai yang kamu dapat rasakan saat mengitari kotanya.

Ini sudah musim gugur di Benua Amerika, namun melakukan perjalanan malam dengan iringan musik klasik, entah bagaimana, menghangatkan tubuh dan hati. Itu yang saat ini dirasakan dua insan yang masih betah berdiam diri sejak tiga puluh menit lalu meninggalkan Manhattan.

Luca mengemudikan mobilnya bermanuver mengikuti kontur jalanan kota New York, sedang Gaby menyilangkan kedua tangannya didepan dada tanpa mengalihkan pandang dari jendela mobil.

“Lo mau— “

“Udah mak — “

Suara keduanya tumpang tindih sebab saling berbicara diwaktu yang hampir bersamaan.

Luca tersenyum samar. “You go first.”

Gaby menghembuskan nafas panjangnya entah mengapa. “Lo rencananya ini mau kemana?”

Uhm, actually, I have nowhere to go, I just love driving around the city at night like this.” Luca melepas sedikit injakan pada pedal gas mobilnya. “Do you have any place you wish for?”

Gaby menggeleng. “I have never been going on a night drive before.” Mata Gaby menatap lurus kedepan.

Luca mengangguk-angguk kecil. “I see it, you’re a homebody.”

Gaby ikut mengangguk sekilas setuju dengan kalimat Luca, karena memang begitulah dirinya. “What do you usually do when driving around the city, or what do you like to do for a night drive?”

“Hm…” Luca mengerutkan dahinya juga memicingkan matanya sebentar. “A good and warm conversation would be nice for a night drive. But I never had one. So, if you are kind enough, I think maybe you would like to have a good conversation with me?”

“Hahaha— “ Gaby terkekeh tanpa sadar. “Bilang aja lo mau gue ajak ngobrol.”

“Lah, barusan gue juga minta gitu kan?”

“Ya iya, maksud gue, langsung aja. Just straight to the point. Gak perlu pake kata pengantar,” timpal Gaby masih diikuti kekehan kecilnya.

Just straight to the point, you say?” Luca mengulang perkataan Gaby.

Gaby mengangguk yakin. “Just straight to the point.”

Luca mengangguk-angguk diikuti juga dirinya yang tiba-tiba saja tersenyum lebar sembari memainkan lidahnya mendorong pipi bagian dalamnya. “You want me to just be straight to the point, Lavelle?”

What is it? Why did you keep repeating my words and even laughing now?” Gaby mengerutkan dahinya bingung atas perilaku aneh laki-laki yang duduk dikursi pengemudi.

Okay.” Luca melepas pedal gas kemudian menginjak pedal rem mesin mobil perlahan menghentikan mobilnya dipinggir sisi kanan jalan, ia juga menekan tombol P yang artinya mobil akan diposisikan untuk keadaan parkir.

Okay what?” Gaby bertanya mendesak. Perempuan itu susah menebak apa yang ada dalam pikiran laki-laki disebelahnya saat ini.

Luca melepaskan sabuk pengamannya. Memposisikan duduknya menghadap kanan pada Gaby. Ia menyimpulkan senyum tipis barang sebentar, kemudian tangannya bergerak mengecilkan volume pemutar suara mobil.

I think I like you.”

Luca menunggu reaksi Gaby. Nihil. Perempuan itu justru diam mematung dengan dahi berkerut.

I think I like you,” ungkapnya dengan suara rendahnya, laki-laki itu setengah berbisik.

What?”

Luca menghembuskan nafasnya perlahan, menutup matanya gemas. “I hate to repeat what I’ve said, but you make me do it twice and even third times now,” tutur Luca perlahan mencondongkan tubuhnya pada Gaby.

I think I like you, Lavelle,” ulangnya lagi untuk ketiga kali.

Gaby masih mengerutkan dahinya, “You what?”

“Lavelle…” panggil Luca lirih. “You really want me to repeat it for the fourth time for you to hear it? Are you obsessed or what?”

No.” Gaby menggeleng. “I heard you loud and clear, but I still do not understand what you are trying to say to me.”

Well, I think I like you, I like your personality.”

Gaby ikut melepaskan sabuk pengamannya dan duduk menghadap Luca. “You said that you think you like me?”

Luca mengangguk.

For my personality??”

Luca mengangguk lagi. “I know, I was suprised too.”

No, you’re not.” Lagi-lagi Gaby menggeleng. “You said you think that you like me. So, it means that you are not like me yet. You still think about it or debate yourself and even wonder whether you have one specific feeling toward me or I attract you.”

Isn’t it all the same things?” Tanya Luca.

It is all a different thing. Watch your mouth, Luca.”

Baru kali ini menyatakan perasaan terasa begitu sulit bagi Luca, atau mungkin memang karena ini kali pertama baginya. Namun sepengalamannya, kalimat ‘I think I like you’ selalu berhasil membuat banyak teman-teman perempuannya menjadi makin tergila-gila padanya. Meskipun pada akhirnya kalimat itu tidak pernah berubah menjadi ‘I love you’.

But I really do think that I like you, Lavelle.”

Oke, I understand. It could happen,” timpal Gaby acuh tak acuh.

“Jesus,” Luca mendesis frustasi. “I just said that I think I like you. Don’t you feel something about it, Lavelle?”

Tak ada jawaban. Gaby diam tak bergeming hanya memandangnya.

“Lavelle?” panggil Luca sedikit berseru.

“Hz…” Gantian Gaby yang mendesis sebal. “Why do you always call me by my last name, though? You can call me Gaby.”

“Why can’t I? Lavelle sounds beautiful.” Luca mengukir senyum tipis mania kearah Gaby dengan tatapan dalamnya pada kedua pasang mata coklat muda itu. “Lagian aku suka panggil kamu pake nama yang beda dari orang lain, jadi satu-satunya is not that bad.”

Gaby kembali mengernyitkan dahinya mendengar pergantian sebutan yang Luca gunakan diantara mereka berdua. “Lo. Gue.”

“Hm?”

“Lo. Gue. Bukan, aku kamu.”

Luca tertawa menanggapi. “Gak adil tau, kalo lo begini ke gue. Geo lo kasih izin pake aku-kamu.”

Gaby menghembuskan nafas pasrah. “Lo sama Geo beda.”

“Apa coba?”

“Gue kenal Geo lebih lama dibanding sama lo.”

Luca terkekeh lagi. “Enak aja, gue kenal lo lebih lama dibanding dia.”

“Ha?”

“Forget it.” Luca mengibaskan tangan singkat didepan dada. “Intinya, gue bakal terus panggil lo pake nama belakang lo.”

“Gak. Gak gue kasih izin,” tolak Gaby mentah-mentah.

“Ada sih cara biar gue gak panggil nama belakang lo lagi,” goda Luca.

Gaby memberikan lirikan ingin tahu. Apa?

“Lo harus nikah sama gue. Dengan begitu, nama lo bakal berubah jadi Gaby Navarez, jadi gak mungkin dong gue panggil lo pake nama belakang lo lagi.”

Gaby benar-benar tidak habis pikir oleh isi otak penggoda Luca, benar kata Ziggy bahwa lingkar pertemanan Luca terkenal dengan sebutan Nation’s heart stealers, sekarang Gaby percaya dan paham alasan dibalik sebutan itu.

Gaby yang memang tidak pernah mau kalah, melakukan serangan balasan. “Kalo gitu, lo juga harus panggil nama depan gue kalo gue nikah sama Geo, karena nama gue bakal berubah jadi Gaby Kazuhiro.” Ia sengaja memanfaatkan pernyataan suka yang tadi Luca ungkapkan sebagai senjatanya.

Luca yang sebelumnya duduk santai bersender pada bahu kursi saat ini berubah menjadi tegak dengan tatapan mata sengit tanda tak suka. “Gak ada yang izinin lo nikah sama Geo.”

“Gue gak butuh izin siapapun buat nikah sama siapapun yang gue mau.”

Luca mendesis, “Emang lo mau nikah sama Geo?”

“Kita temen doang,” timpal Gaby. “Emang lo mau gue nikah sama Geo?” lanjutnya.

“Gak. Jangan berani-berani punya pikiran nikah sama dia.”

“Oke,” kata Gaby dengan suara nyaring.

“Oke,” sahut Luca menimpali tak kalah nyaring.

Tiga detik,

Enam detik,

Sepuluh detik,

Lima belas detik, yang ada hanya hening. Keduanya mengaburkan pandangan kesekitarnya. Mereka berdua sedang sama-sama berusaha mengontrol deru nafas dan degup jantung yanh beberapa saat lalu berpacu lebih cepat dibanding biasanya.

“Do you believe in destiny, Lavelle?Suara Luca memecah keheningan keduanya. Masih dengan posisi duduk yang sama dan keadaan mesin mobil menyala terparkir disisi kanan jalan.

“I used not to believe it until I found out that it really exist, or at least for me,” lanjut Luca karena tak mendapat respon dari pertanyaannya. “The man above us does create our path differently, and then He added so much plot twist in it, and I call that plot twists a destiny.”

Gaby diam. Mendengarkan. Berusaha menebak kemana arah bicara Luca akan bermura.

“There’s also a laws of attraction, if you do not know. It says that positive thoughts bring positive results into a person’s life, while negative thoughts bring negative outcomes.” Kali ini tangan Luca perlahan kembali menyalakan mesin mobil dengan bibir yang masih terus berbicara. “It’s like a magnet.”

“And last, there’s a thing called Luca’s rules. I set a rule for myself so that I know what, when, where, why, who, and how I should fall in love. Love requires so much thing in it, priority is first to mention, and I think I — ”

“Don’t mind me, we’re going back to your penthouse.” Final Luca dengan merkah senyum gemas melihat Gaby yang ternyata sudah tertidur dikursi penumpang — di kanannya.

“I supposed to say that I like you for real right now, Lavelle,” ungkapnya tepat setelah ia mengecup lembut penuh kasih ujung hidung perempuan dengan rambut hitam panjang sebahu yang sudah berada jauh dialam mimpi itu.

“Kali ini kamu gak akan cuci muka ribuan kali habis aku cium, kan?”

--

--

caraazell
caraazell

Written by caraazell

i write whatever goes inside my head, xx

No responses yet