Tadi siang, Gaby menjawab asal pertanyaan Luca — “kamu mau indoor atau outdoor?” — karena terlanjur sudah salah tingkah dibuat Luca, Gaby pikir itu hanya akan menjadi ajakan bualan dari Luca mengingat betapa sibuk dia akhir-akhir ini.
“What are we going to do here? I thought you said we’re going on a date?” tanya Gaby ketus saat masih duduk tenang di kursi penumpang mobil Luca.
Yang ditanya menyeringai lebar sembari melepaskan sabuk pengaman penumpangnya malam ini. “Luca!? Jawab!?” Harap makhlum, Gaby memang bukan perempuan yang penuh sabar.
“You want to go on a date with me that bad, Miss Lavelle?”
Aku, sebagai penulis, apa sudah pernah menjabarkan watak dan sifat asli Luca Navarez pada kalian? Kalau sudah ingatkan aku lagi. Karena pada tulisanku ini, jelas ku tulis dirinya sebagai seseorang yang jutek dan tak pandai bergaul bahkan terkesan selalu dingin. Aku takut aku salah arah karena barusan saja tuan muda Luca Navarez, lagi dan lagi melontarkan kalimat bualan yang dapat dipastikan kalau kalian dengar langsung akan membuat letusan kembang api disekitarmu.
Dari banyaknya racauan sebal dan umpatan singkat yang kerap kali Gaby katakan setiap mendengar kalimat bualannya, Luca terlihat sangat santai dan tidak tau ampun. Gertakan gigi sebal terdengar dari Gaby yang baru saja hampir menimpuk Luca dengan tasnya. Luca makin terkikih melihat raut wajah sebal perempuan dihadapannya.
“My bad, guess now is a bad time to teasing you,” lanjut Luca yang tak ingin memperpanjang rasa sebal Gaby.
“Jadi kita mau ngapain kesini? Gue gak ada jadwal ngajar dan ini udah malem.”
Tulang pipi Luca terangkat, “Emang kalo malem kita dilarang masuk?”
“Isn’t that obvious?”
Luca dengan rekah senyum lebar membuka kedua pintu kaca Aula Alice Tully. Yang menyebabkan mata Gaby membulat sempurna.
Berdasarkan pada wikipedia, beginilah penjelasan singkat Aula Alice Tully bagi kalian yang belum familiar dengan salah satu gedung terkenal di kota New York ini. Alice Tully Hall adalah sebuah aula konser di Lincoln Center for the Performing Arts di New York City. Tully Hall terletak di dalam Juilliard Building, aula ini menjadi tempat diadakannya berbagai pertunjukan dan acara, termasuk New York Film Festival.
Tidak diragukan lagi alasan Luca mendapat julukan “young master”. Selain daripada privilege yang dia miliki sebagai putra sulung keluarga konglomerat ternama, Navarez Family. The power, attitude, knowledge, and capability that he holds are the most powerful ones, among all of the ACE FOUR members.
This man always has an annoyingly unpredictable lovely way of impressing Gaby.
Luca membungkukkan badannya, “On your way, Princess,” tutur Luca mempersilahkan Gaby untuk melangkahkan kaki masuk bak seorang anggota kerajaan. Gaby mendesis bingung (juga salah tingkah).
Malam ini Aula Alley Tully terlihat lebih megah dibanding malam-malam sebelumnya. Gaby sudah beberapa kali menginjakkan kakinya disini bahkan menunjukkan kepiawaiannya bermain harpa diatas panggung ini bahkan disaksikan oleh ribuan penonton dengan lampu sorot warna-warni yang mengiringi penampilannya diatas panggung. Meskipun itu sudah beberapa bulan yang lalu.
Entah kapan dan bagaimana Luca mempersiapkan ini semua tapi lihatlah langit-langit Aula Alley Tully dipenuhi dengan hiasan jatuh menjuntai snowflakes dan juga snowman menyala berwarna biru dan putih. Dinding-dindingnya pun dihiasi cantik dengan lampu-lampu kecil cantik berwarna putih. Luca seakan merubah seisi Aula Alley Tully menjadi taman lampu pada musim dingin. Belum selesai sampai disitu, kali ini Gaby terkejut ketika mendapati beberapa instrument musik yang tertata rapi diatas panggung, seakan-akan sebentar lagi pertunjukan besar akan diselenggarakan. Keyboard, drum, harp, violin, guitar, and electric guitar, semua terpampang diatas panggung.
“Let me guess,” suara Luca memecah lamunan Gaby. “Now, you’re wondering who’s gonna play all those instruments, am I right?”
Damn, is he a read-minder or what? Gaby tak menjawab, ia hanya mengedipkan matanya beberapa kali sebelum kembali memalingkan wajahnya menatap sekitar.
Luca menarik lembut tangan Gaby, perlahan mengaitkan jari jemarinya pada jari jemari lentik nan cantik milik Gaby. Ia menuntun Gaby untuk berjalan menuju panggung. Gaby dengan sukarela menerima ajakannya.
“All you have to do is just sit and look pretty here,” Luca menjeda sejenak diiringi senyum tipis. “Of course, enjoy the show and your snacks here.”
Gaby membelalakan matanya, “What SHOW?????”
Luca lagi dan lagi hanya menyeringai usil.
Detik-detik selanjutnya indra pendengaran Gaby telah dimanjakan oleh Luca yang mulai melantunkan Best in Me oleh Blue, dengan akustik gitar yang bertengger pada pundaknya.
Damn, he SING, batin Gaby menjerit.
Ingatan Gaby terlempar pada malam dimana Luca menjemputnya untuk mengelilingi New York City pada malam hari.
“What’s your favorite song to listen to while painting?”
“Any song.”
“Hahaha, must there be one specific song, Lavelle.”
“I don’t have one.”
“Umm, I think ABC song would be perfect for you.”
“Not that one though.”
“Come one, tell me what it is.”
“If you know a band called Blue, I love them.”
“Best in me, it is!”
“Overrated.”
“Make it happen, then.”
“Good one.”
“Okay, what else?”
“High school musical’s playlist.”
“Perfect!”
“What’s so perfect about it?”
“Nothing, I just want to know more about you, princess.”
“Stop calling me that!”
“Whatever you say, Your Majesty.”
Dan malam ini, dihadapannya, di dalam aula besar Alice Tully, Luca memperdengarkan suara berat dan manis miliknya sembari mengunjukkan kepiawaiannya dalam bermain berbagai alat musik. Entah apa yang sedang laki-laki itu berusaha lakukan dengan kejutan kali ini. Saat ini segala indra miliknya sedang disihir seutuhnya oleh Luca.
Tak hanya disihir oleh suara dan permainan alat musik dari Luca, Aula Alice Tully terlihat sangat indah malam ini, semua lampu sorot berwarna-warni bermain dengan indah, hiasan gantung dan juga bintang-bintang yang menyala dalam gelap sungguh menyihir mata. Aula Alice Tully seakan-akan menggelar acara bergengsi malam ini.
And you know that we belong together
It just had to be you and me
Senandung Luca masih dengan gitar akustiknya,
’Cause you bring out the best in me
Like no one else can do
That’s why I’m by your side.
Yang kemudian berakhir pada bait terakhir.
Gaby pikir pertunjukan solo (khusus untuk dirinya) ini telah selesai, namun ternyata Luca berpindah posisi dibalik satu set drum dengan memegang stik drum kemudian dengan bangganya ia mainkan di pergelangan tangannya. Tiba-tiba saja terdengar We’re All in this Together yang merupakan salah satu soundtrack dalam drama remaja terkenal High School Musical. Luca mulai memukul drum sesuai dengan irama lagu.
There’s something undeniable sweet in him.
“How was it?” Luca turun dari panggung menghampiri Gaby. “Suka atau gak?”
Gaby mengerutkan dahi dan hidung seraya berkata, “You didn’t tell me anything about music or your singing skill.”
“Pertanyaannya itu, suka atau engga? Miss Lavelle…”
“Ck-” Gaby mendesis pelan. “Jawabannya, suka tuan muda Luca…” jawabnya dengan menjiplak intonasi Luca.
“Hm? Suka tuan muda Luca? Did you answer my question or are you just confessing your feelings to me?” tanya Luca usil.
“Kata gue lo stop bermain sama pikiran imaginatif lo itu deh, sakit lo entar yang ada.” Gaby lantas berdiri hendak berpaling meninggalkan Luca, sebelum Luca meraih jari-jemari tangannya dengan halus.
Posisi keduanya yang saling tatap saat ini entah bagaimana menciptakan suasana mendebarkan hati.
“Belum selesai,” kata Luca dengan lembut. “Jangan pergi, Lavelle.”
Samar-samar mulai terdengar alunan musik lainnya memasuki pendengaran Gaby, dia tahu jelas lagu apa itu.
Take my hand, take a breath
Pull me close and take one step
Luca mengulurkan tangannya yang lain, meminta izin Gaby dengan sopan. Tatapan mata hangat dan tulus itu lagi dan lagi menyihir Gaby seutuhnya, bak dihipnotis, Gaby dengan sukarela meraih tangan Luca. Ujung bibir Luca tidak sabaran, ia bereaksi lebih cepat dari yang lainnya, terlihat lesung pipit kecil terbentuk disebelah kanan wajahnya.
Keep your eyes locked on mine
And let the music be your guide
Tulang pipinya nyaris terangkat sempurna saat Gaby mengizinkan tangan Luca mulai merambat perlahan melalui jari-jemari manis, punggung tangan, lalu sedikit melakukan gerakan memutar menuju pergelangan tangan hingga sikut Gaby. Setiap sentuhan itu menghantarkan ribuan voltase mengalir dalam darah keduanya.
Won’t you promise me
(Now won’t you promise me
That you’ll never forget)
Tangan kiri Luca sudah mendapatkan letak nyamannya. Pinggang Gaby tidak lebih lebar dibanding telapak tangannya. Sedang tangan kanannya masih sibuk mengusap lengan gadis dengan bibir merah muda itu. Keduanya mulai bergerak mengikuti alunan musik.
Luca mendekatkan wajahnya pada pelipis Gaby dan mulai berbisik. “Mungkin kamu gak sadar, atau belum sadar, tapi aku suka setiap kamu ada di jarak sedeket ini sama aku.”
Gaby terkekeh kecil. Why is he suddenly switching language to bahasa now?
We’ll keep dancing
(To keep dancing)
Wherever we go next
“Mungkin kamu lupa, atau belum inget, tapi aku selalu berusaha ada di deket kamu, Lavelle.” Luca mendaratkan satu kecupan hangat pada pelipis Gaby. “Since our first met.”
Gaby hanya dapat terdiam. Berada diantara bingung akan maksud Luca dan bagaimana harus bereaksi dengan kecupan hangat itu. Ia lantas sedikit menjauhkan wajahnya dari Luca, mulai berusaha memahami laki-laki dihadapannya dengan menatap lurus kedua bola mata coklat itu.
“Tonight marks my first confession to you. I’m not asking you to like me back, just please don’t push me away from you, ‘Cause I have the nerve to be nowhere near you.” Tangan kanan Luca bergerak mengusap lembut pipi Gaby dengan punggung jarinya. Matanya melakukan gerakan bolak-balik menatap mata kanan lalu mata kiri kemudian berhenti menatap kedua mata Gaby bersamaan. “This is how I confess my heart to you, Lavelle. Never been this serious for a woman before but you set me to a completely different man. Since our first met, you always bring the best in me.”
It’s like catching lightning
The chances of finding someone like you
He put a spell on her, he really did.
“You can call me anything.” Luca menjeda. “But I only call you, My Queen.”
It’s one in a million
The chances of feeling the way we do
And with every step together
We just keep on getting better
Luca tiba-tiba saja mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya, meraih jari manis Gaby. Beradu tatap sebelum akhirnya menyematkan cincin perak itu disana. “So, My Queen, may I have this dance tonight?”
Gaby terlihat bingung sesaat, lalu beberapa detik kemudian tersenyum lantas mengangguk.
So can I have this dance?
(Can I have this dance?)
Can I have this dance?
There’s a Japanese phrase that I like: koi no yokan. It doesn’t mean love at first sight. It’s closer to love at second or even another sight after. It’s the feeling when you meet someone that you’re going to fall in love with them. Maybe you don’t love them right away, but it’s inevitable that you will.